Pembuka

Assalammualaikum..

Jumat, 17 Desember 2010

Kebijakan Pemerintah Norwegia Tentang Tempat Penitipan Anak

Bismillahirrahmannirrahim.....


Kebijakan penitipan anak di Norwegia

Tujuan pemerintah menerapkan kebijakan penitipan anak adalah memungkinkan orang tua mendaftarkan anak mereka ke program penitipan berkualitas tinggi dengan biaya terjangkau. Fasilitas penitipan anak merpakan faktor penting dalam partisipasi orang tua di tempat kerja. Fasilitas penitipan anak yang baik juga penting dalam konteks belajar, dan dipandang sebagai awal pendidikan anak. Institusi penitipan anak di Norway merupakan institusi pendidikan, dan harus memenuhi standard nasional yang telah ditetapkan dalam hal kurikulum pendidikan. Program penitipan anak berarti dalam konteks pencegahan dan menyediakan medium awal bagi anak untuk berinteraksi dengan berbagai etnis, bahasa dan budaya lain. Program penitipan juga membantu memajukan kesetaraan sosial.
Tanggung jawab keseluruhan memenuhi kebutuhan penitipan anak terletak pada pihak berwenang di tingkat kotapraja, yang juga bertanggung jawab memonitor pelaksanaan undang-undang yang berlaku. Negara memberikan bantuan untuk mendirikan dan menjalankan institusi penitipan anak pemerintah dan swasta, dan semua institusi berhak mendapatkan bantuan dana. Saat ini jumlah fasilitas penitipan anak belum mencukupi permintaan, dan institusi penitipan yang tidak dalam tingkat kotapraja memberikan 56 persen dari jumlah tempat total yang tersedia dalam skala nasional. Penekanan diberikan pada kualitas dan keragaman tipe program yang tersedia, sehingga memenuhi kebutuhan orang tua dalam hal jumlah waktu per minggu, besar kelompok dan kurikulum pendidikan.
Tiap kotapraja bertanggung jawab untuk menciptakan kerangka kerja untuk proses pendaftaran bersama untuk fasilitas penitipan anak di tingkat kota praja maupun non-kota praja. Skema nasional tentang harga maksimum untuk berpartisipasi dalam program penitipan telah diterapkan dan akan diperkenalkan secara bertahap. Sejak 1 Januari 2006, biaya pendaftaran di institusi penitipan anak biasa tidak melebihi 2.250 NOK per bulan.
Undang-undang sehubungan dengan institusi penitipan anak Norwegia diatur dalam Undang-undang Institusi Penitipan Anak tahun 20055. Tujuan, persyaratan kualitas dan prinsip utama komponen pendidikan program penitipan anak ditentukan dalam peraturan yang berhubungan dengan kerangka kerja khusus untuk isi dan tugas yang ditetapkan Departemen Pendidikan dan Penelitian.
Pada akhir tahun 2005, sekitar 76 persen anak-anak yang berusia 1-5 tahun terdaftar pada program penitipan anak. Menyediakan program penitipan anak untuk semua orang tua yang bermaksud mendaftarkan anak mereka pada tahun 2007 merupakan tujuan pemerintah.

FASILITAS PENDIDIKAN DIMULAI DARI TEMPAT PENITIPAN ANAK (TPA)

Pendahuluan
Pembangunan. Ketika mendengar istilah itu maka dalam pikiran kita muncullah bentuk-bentuk gedung, jalan layang, dan fasilitas-fasilitas fisik lainnya. Tidak heran kalau banyak orang yang mengidentikkan pembangunan dengan bangunan fisik.
Sekiranya memang pengertiannya seperti itu, maka perlu juga ada sosialisasi perluasan makna pembangunan. Selain ditandai dengan keberadaan bangunan fisik, harus juga termasuk bahwa pembangunan tersebut merupakan “pembangunan ramah anak”. Lebih jauh lagi bahwa pembangunan yang diharapkan dari UN Conference on the Human Environment di Stokholm, tahun 1972 tidak bisa terlepas dari lingkungan hidup.[1] Dengan demikian, kepentingan generasi mendatang, yang jelas harus memperhatikan hak-hak anak, yang diusung dalam konsep pembangunan berkelanjutan adalah suatu faktor penting.
Sebagian anak-anak di Indonesia barangkali masih banyak yang tumbuh di tengah masyarakat yang berdekatan dengan keluarga dan kerabat. Dengan lingkungan seperti itu, pengasuhan anak-anak banyak melibatkan peran keluarga. Namun pada masyarakat perkotaan nampaknya ada kecenderungan mengalami pergeseran, dari keterlibatan kerabat dalam pengasuhan anak beralih kepada pengasuh yang secara khusus dipekerjakan dan diberi upah. Peran pengasuh yang tidak memiliki hubungan keluarga ini bukan tanpa resiko. Beberapa kejadian yang ada di masyarakat tentang perilaku pengasuh kepada anak-anak apabila pekerjaannya tidak diawasi menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi para orangtua. Kalaupun kekerasan fisik tidak terjadi pada anak, barangkali ada hal yang perlu diperhatikan lebih banyak juga dalam hal pendidikan, terutama bagi anak-anak di bawah 3 tahun.
Berkaitan dengan pembangunan yang memperhatikan kepentingan anak-anak, tidak saja cukup dengan lingkungan fisik, dalam tumbuh kembangnya anak-anak membutuhkan lingkungan yang akan menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidupnya. Salah satu bentuk dari pemenuhannya, terutama untuk mengoptimalkan masa emasnya bisa didapat dari lingkungan pengasuhan bagi anak-anak.
Berdasarkan latar belakang pemikiran yang telah diuraikan, terdapat 3 (tiga) permasalahan pokok yang perlu mendapatkan kajian yang lebih luas dan mendalam berkaitan dengan “Fasilitas Pendidikan Dimulai dari Tempat Penitipan Anak (TPA)”. Rumusan identifikasi masalah tersebut adalah:
1. Bagaimana pengaturan menyangkut perlunya pelayanan masyarakat berupa Tempat Penitipan Anak (TPA)?
2. Konsep Tempat Penitipan Anak (TPA) yang seperti apa yang menjadi prioritas pelayanan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah kota?

Kerangka pembahasan
TPA dalam Kerangka HAM
Anak-anak adalah bagian dari kelompok manusia. Kepentingan mereka tidak kalah pentingnya dengan kelompok manusia lainnya. Dalam prakteknya, berbagai segi kehidupan anak banyak bersentuhan pula dengan hak-hak perempuan. Beberapa instrumen hukum internasional dan nasional yang dapat menjadi landasan keberadaan Tempat Penitipan Anak (TPA) adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM;
2. Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
3. Kepres 36 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child;
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women).
TPA dalam Kebijakan Pemerintah Daerah
Dalam upaya penegakan peraturan-peraturan tersebut Indonesia akan sangat kesulitan jika mengelolanya secara terpusat. Sedangkan wilayah Indonesia begitu luas.
Dengan keadaan seperti itu dalam UUD 1945 perubahan kedua diatur bab tentang Pemerintahan Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, lebih tepatnya dalam pasal 18.
Otonomi Daerah haruslah dapat membuat pemerintah daerah lebih kreatif, responsif dan efektif dalam membuat kebijakan didaerahnya untuk membentuk sistem pemerintahan yang representatif. Pemerintah daerah seharusnya dapat menampung segala kebutuhan masyarakat daerah dan menampung partisipasi masyarakatnya sehingga dapat membuat perencanaan dan prioritas untuk mengatasi kemiskinan, membuka lapangan kerja, dan perbaikan lingkungan hidup.
Sebagai satuan pemerintahan yang lebih kecil, Daerah provinsi dan Daerah kota/kabupaten memiliki kewenangan sebagaimana yang diberikan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Khusus tentang kota/kabupaten, Pasal 14 ayat (1) menyebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota salah satunya adalah penyelenggaraan pendidikan. Tidak kalah penting dari itu, urusan lain yang memungkinkan menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota adalah urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan pendidikan yang diamanatkan dalam Pasal 14 tersebut, idealnya tidak saja pada pendidikan mendasar dan menengah. Akan tetapi kepentingan anak-anak dalam usia dini pun adalah mencakup tanggung jawab pendidikan yang lebih mendasar lagi.
Salah satu sarana pendidikan bagi anak usia dini adalah berupa Tempat Penitipan Anak (TPA). Pemerintah Kota dapat mendirikan sarana TPA yang berkualitas, dan terjangkau bagi masyarakat menengah. Bagi masyarakat kota, pasangan muda yang memiliki anak-anak kecil pada umumya keduanya memiliki aktivitas di luar rumah, baik karena alasan ekonomi, maupun faktor sosial. Keberadaan TPA seperti ini nampaknya akan sangat berarti bagi penduduk kota.

Isi dan Analisa
Alasan Keberadaan Tempat Penitipan Anak (TPA)
Dalam beberapa peraturan, anak-anak diartikan sebagai orang yang berusia di bawah 18 tahun. Lebih luas lagi, bahwa dalam sudut pandang hukum kategori anak-anak adalah termasuk sejak berada dalam kandungan.[2] Salah satu konsekuensinya adalah kasus aborsi ilegal dipandang melanggar hukum karena ada hak yang dilanggar, yaitu hak hidup janin yang sedang tumbuh dalam kandungan. Ada juga pandangan bahwa golongan anak-anak yang membutuhkan perhatian atas kepentingannya adalah mereka yang berusia di bawah 3 tahun (early child). Terlepas dari pengertian anak-anak itu sendiri, apa yang hendak diusung dalam tulisan ini adalah terutama menyangkut kepentingan anak-anak yang berusia di bawah 3 tahun.
3 tahun pertama usia anak banyak dipandang sebagai masa emas. Maka dari itu, untuk memperoleh kualitas pendidikan yang optimal, anak-anak perlu berada dalam kondisi pengasuhan yang memberikan kasih sayang baik secara fisik, maupun psikologis, serta mendorong peningkatan mutu dan kemampuan anak. UNICEF dalam bukunya mengungkapkan bahwa hak anak-anak yang berusia antara 0-3 tahun (very young children) adalah berupa[3] “protection from physical danger, adequate nutrition and health care, appropiriate immunizations, an adult with whom to form an attachment, an adult who can undrestand and respond to their signals, things to look at, touch, hear, smell, taste, opportunities to explor their world, appropiate language stimulation, support an acquiering new motor, language and thinking skills, a chance to develop some independence, help in learning how to control their own behavior, opportunities ti begin to learn to care for themselves, daily opportunities to play with a variety of objects.”
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menganjurkan agar anak-anak sedapat mungkin mendapatkan pengasuhan dari orang tuanya. Jika orang tua, terutama ibu yang lebih banyak aktivitasnya di sektor domestik cenderung akan lebih banyak memiliki peluang dalam hal pengasuhan anak. Namun di sisi lain, salah satunya faktor kondisi ekonomi nampaknya mendorong kedua orang tua untuk berupaya menjalankan pekerjaan, yang berada di luar wilayah domestik. Ketika anak-anak lahir dalam kondisi kedua orang tuanya beraktivitas di luar, maka ada kebutuhan kehadiran dan peran orang lain dalam pengasuhannya.
Jika anak-anak, sejak bayi dititipkan pengasuhannya kepada pengasuh yang belum memiliki visi pendidikan dan pengasuhan tentang anak, ada kekhawatiran bahwa anak tersebut akan menerima pesan-pesan pendidikan yang kualitasnya perlu dipertanyakan. Memang tidak dapat dipungkiri, jika sebagian para pengasuhpun menggunakan hati nuraninya dalam mengasuh anak titipannya. Walaupun begitu, sebagian masyarakat banyak berpandangan bahwa teknis penitipan anak kepada pengasuh tetap memerlukan keterlibatan pengawasan dari keluarga dekat. Hal yang sama juga memerlukan perhatian dalam pemberian ASI. Walaupun sekarang sudah ada informasi tentang beberapa cara bagi ibu yang bekerja agar tetap bisa memberika ASI ekslusif setidaknya pada 3 bulan pertama, namun secara teknis tetap saja ada kesulitan dalam pelaksanaannya. Ibu-ibu bukan kurang memiliki informasi tentang perlunya ASI eksklusif, tetapi pada kenyataanya kesulitan teknis tersebut tetap mendorong perlunya pemakaian susu formula.
Terkait dengan kebutuhan TPA Catherine M. Pruissen mengatakan bahwa alasan paling sering diajukan adalah orang tua ingin berada di rumah bersama anak-anaknya sendiri sementara bisa menyumbang bagi keuangan keluarga.[4]
Di Kota Bandung, menurut Data dari BPS, Susenas 2004, menunjukkan bahwa penduduk perempuan lebih banyak terserap pada sektor-sektor perdagangan (jumlah perempuan yang terserap lebih besar 5,06 persen dibanding laik-laki), sektor industri (jumlah perempuan yang terserap sebagai buruh lebih besar 0,27 persen dibanding laik-laki), dan jasa (jumlah perempuan yang terserap lebih besar 0,95 persen dibanding laik-laki).[5]
Landasan Yuridis Tempat Penitipan Anak (TPA)
Sebetulnya telah ada pengakuan perlindungan anak-anak dalam instrumen hukum internasional maupun nasional. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM
Pasal 56 mengakui hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Baik berada dalam pengasuhan, perawatan, atau perlindungan orang tuanya ataupun orang lain. Pasal 58 mengakui hak anak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
2. Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Definisi Perlindungan anak dalam peraturan ini adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa dalam kondisi tertentu, tidak semua orang tua dan tidak setiap saat orang tua bisa secara penuh memberikan perawatan, pengasuhan, atau perlindungan. Maka dari itu, perlu peran masyarakat serta tanggung jawab Negara untuk turut mewujudkannya.
Untuk mewujudkan tanggungjawabnya dalam hal yang berkaitan dengan keberadaan lembaga yang memfasilitasi perawatan atau perlindungan anak, Pasal 22 mewajibkan Negara dan pemerintah untuk memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Nampaknya, baik Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM maupun Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum begitu tegas memiliki rencana untuk memfasilitasi lembaga pengasuhan anak dari orang tua yang bekerja sebagaimana yang diamanatkan dalam Konvesi Hak Anak. Walapun begitu, Pasal 22 dapat memiliki perluasan makna ke arah tersebut.
Maka dari itu pula, salah satu bentuk lembaga atau tempat yang dapat memfasilitasi kebutuhan pengasuhan anak ketika orang tua sedang bekerja misalnya, adalah tempat penitipan anak (children care). Tempat ini nampaknya sangat dibutuhkan terutama bagi anak-anak yang masih berusia 0-5 tahun.
3. Kepres 36 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
Dalam konsideransnya, Konvensi Hak Anak memandang anak, karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum dan juga sesudah kelahiran.
Pasal 2 memerintahkan negara-negara Pihak untuk berusaha menjamin perlindungan dan perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orang-orang lain yang secara sah atas dia, dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat.
Ketentuan yang paling penting yang berkaitan dengan pengasuhan anak yang diakui oleh Konvensi ini adalah dalam Pasal 18. Dalam ayat (1)[6] dikatakan bahwa negara-negara Pihak harus menggunakan usaha-usaha terbaiknya untuk menjamin Kepentingan-kepentingan terbaik si anak. Untuk itu, negara harus menjamin perkembangan berbagai lembaga, fasilitas dan pelayanan bagi pengasuhan anak-anak.[7] Hal ini termasuk bagi anak-anak yang orang tuanya bekerja.
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women).[8]
Lebih tegasnya, keberadaan sarana TPA didukung oleh Pasal 11 yang mengatakan bahwa untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas dasar perkawinan atau kehamilan dan untuk menjamin hak efektif mereka untuk bekerja, negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat.
Salah satunya disebutkan dalam huruf (c), yaitu:
“Untuk menganjurkan pengadaan pelayanan sosial yang perlu guna memungkinkan para orang tua menggabungkan kewajiban-kewajiban keluarga dengan tanggungjawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat, khususnya dengan meningkatkan pembentukan dan pengembangan suatu jaringan tempat-tempat penitipan anak”

Sampai tahun 2002, Komisi HAM PBB melaporkan bahwa kewajiban pemerintah untuk mengeliminasi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan belum terintegrasi melalui kebijakan sistem pendidikan, maupun dalam penyelenggaraan otonomi daerah.[9]
Menanti Tempat Penitipan Anak (TPA) berkualitas dan terjangkau
Penulis percaya bahwa keberadaan children care nampaknya akan diterima oleh masyarakat sebagai wujud kepedulian Negara terhadap anak-anak.
Untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak anak seperti yang telah dijelskan sebelumnya, sebuah lembaga penitipan anak (children care) perlu memfasilitasi aspek-aspek tertentu. Setidak-tidaknya aspek yang diberikan adalah terdiri dari unsur pemberian fasilitas kesehatan medis, psikologis, dapat juga disertai agama, dan nutrisi yang baik dalam standar minimum. Terhadap pendanaan yang dibutuhkan oleh lembaga ini, dengan syarat tertentu negara melalui Pemerintah Daerah diharapkan memberikan subsidi dari APBD. Sebagian lagi dapat berasal dari iuran orang tua, dan donatur. Pengasuhan langsung kepada anak tidak perlu oleh para ahli medis, psikolog, ataupun ahli gizi, akan tetapi dapat memberdayakan keterlibatan mahasiswa, terutama dari jurusan yang bersangkutan.
Potensi Tantangan
Untuk membangun keberadaan children care ini memang tidak akan lepas dari tantangan tertentu, terutama anggaran. Tidak mudah bagi negara berkembang untuk memenuhi kebutuhan ini. Walaupun demikian, tetap saja ini akan menjadi tanggung jawab negara, apalagi dalam UUD 1945 secara tegas telah diamanatkan untuk menyediakan minimal 20 persen anggaran negara untuk pendidikan. Maka dari itu, sampai level pemerintahan daerah pun (pemerintah kota) sudah selayaknya mendorong dirinya untuk berani menganggarkan dalam (local budget) APBD kotanya.
Segmentasi
Secara komersial, kelihatannya TPA merupakan lahan bisnis yang prospek dengan segmentasi masyarakat menengah ke atas. Berapapun biaya yang disyaratkan, bukanlah hal yang sulit bagi mereka yang berpenghasilan lebih.
Tanpa melepaskan diri dari tanggung jawab negara terhadap warga yang dalam kondisi tersebut, apa yang perlu menjadi prioritas tanggung jawab pemerintah kota terhadap keberadaan TPA ini adalah bagi mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah.
Beberapa prioritas yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah kota dalam menyediakan sarana pendidikan berupa tempat penitipan anak ini, dapat berdasarkan konsep sebagai berikut:
a. TPA di lingkungan kerja PNS, atau berdekatan dengan kantor;
b. TPA di lingkungan sektor industri, pasar, dan jasa.
Baik kiranya kita jadikan contoh suatu Tempat Penitipan Anak (TPA) yang didirikan oleh Tim Penggerak PKK Kota Yogyakarta. Daya tampung TPA ini pernah mencapai 50 orang anak. Syarat anak yang diasuh di sini hanya jika telah dapat berjalan. Biaya harian yang diminta dari setiap anak setiap harinya hanya Rp 3.000,- (tiga ribu rupiah), dan tidak ada biaya yang lainnya. Setiap peralatan yang diperlukan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak dibawa sendiri. Setiap anak mendapat jatah susu, makan siang, dan makanan ringan. Dokter akan memeriksa anak-anak setiap bulannya. Letak TPA ini persis di sebelah kanan Pasar Beringhardjo, di keramaian aktivitas ujung Malioboro. Orang tua dari anak-anak yang dititipkan di sini cukup beragam, dari penjual yang sehari-harinya di pasar, guru, polisi, dsb. fasilitas yang ada meliputi tempat bermain, ruang tidur, loker bagi masing-masing anak, arena bermain, dapur, dan kantor (lihat gambar).
Kesimpulan
1. Kewajiban Negara untuk menjamin keberadaan fasilitas pendidikan dan pelayanan Tempat Penitipan Anak sudah diamanatkan dalam berbagai peraturan.
2. Pemerintah Kota turut berkewajiban untuk mengintegrasikan amanat peraturan tersebut ke dalam berbagai kebijakan, sebagai bagian dari rencana pembangunan di kotanya.
3. TPA yang mendapat subsidi dari pemerintah daerah perlu diprioritaskan bagi anak-anak yang orang tuanya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), pekerja sektor industri, perdagangan, dan jasa, yang berpenghasilan menengah ke bawah.

Referensi
Catherine M. Pruissen, Memulai dan Menjalankan Bisnis Penitipan Anak, (terjemahan), Abdi Tandur, 2006, hlm. 3.

Commission On Human Rights, Ecosoc, The Rights to Education, Report submitted by Kaharina Tomasevski, Special Rapporteur, in accordance with Commission resolution 2002/2003, Mission To Indonesia, 1-7 July 2002.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo kirim komentar dan beri saya sebuah kritik ^_^ karena banyak spam jadi komentar nya saya moderasi.maaf :-)